Sertifikat Seminar "find your success with BEST marketing strategy"
00.57 |
Read User's Comments(0)
Analisa Terhadap UU Persaingan Usaha dan UU Perlindungan Konsumen di Indonesia (BAB III)
23.52 |
JURNAL PERSAINGAN USAHA
Jurnal komisi pengawasan persaingan
usaha (KPPU)
Analisa Terhadap
Undang-Undang Persaingan Usaha dan Undang-undang Perlindungan Konsumen di
Indonesia
Oleh :
Yoza Wirsan Armanda,edisi 1 tahun 2009
Kata
Kunci : Pelaku usaha,konsumen,Penyalahgunaan,Undang-undang
Selvi
Andeslin (28211853)
Kelas
2 EB 08
Tulisan
softskill, Mata Kuliah Aspek Hukum dalam Ekonomi, Jurusan Akuntansi,
Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma, 2011-2012.
Tanggal
: 5 Mei 2013
Bab III
Pembahasan Atas UU
No.5/99 Dan UU No.8/99 Dengan Ilustrasi Kasus
Sebuah contoh di tahun 2004, pemilik Bandung
Supermal digugat seorang pemilik stand arloji. Kedudukan pemilik stand arloji adalah tenant/mid-consumer dari Bandung Supermal. Penyebabnya, pemilik mal
secara sepihak menutup stand itu. Pemilik stand menggunakan UU
No.8/99 sebagai dasar hokum yang dia pakai. Dia mendudukkan dirinya selaku
konsumen yang harus dilindungi hak-haknya. Padahal merujuk pada UU No.8/99,
status dia sebagai konsumen sangat debatable.
Secara jelas konsumen itu sendiri dibagi menjadi
dua, konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir menggunakan barang atau
jasa tidak untuk diperdagangkan, sedangkan konsumen antara menggunakan barang
atau jasa untuk diperdagangkan. Yang dicakup UU No.8/99 adalah konsumen akhir.
Pemilik stand arloji tersebut jelas tak masuk kategori konsumen. Tapi
anehnya, pengadilan negeri Bandung justru memenangkan gugatannya. Hal ini
tentunya akan menjadi preseden yang buruk bagi perkembangan dunia usaha pada
umumnya. Mungkin kalau pemilik arloji mau melirik UU No.5/99, dia dapat
menggugat pelaku usaha atas tindakan diskriminatif.
Keputusan tersebut sangatlah disayangkan, apabila
KPPU dan BPKN atau BPSK misalnya dapat menyelesaiakan kasus ini secara
bersamaan dan mengeluarkan putusan yang sinergis (misalnya untuk perkara
konsumen diproses oleh Bagian Perlindungan Konsumen dan perkara persaingan
diproses Bagian Persaingan) tentu ini akan menjadi contoh yang baik bagi
masyarakat dan perkembangan hukum persaingan dan perlindungan konsumen pada
khususnya.
Product
Liability mempermudah penyelesaian kasus
Dasar untuk mengajukan gugatan dalam hal tanggung
jawab pelaku usaha ada dua yaitu apabila terjadi wanprestasi (breach of
contract) dan apabila digugat karena adanya perbuatan melawan hukum.
Apabila perjanjiannya ada (hubungan langsung) dan prestasinya terukur maka
pihak tergugat dapat dikenakan tanggung jawab kontraktual atas dasar
wanprestasi, tetapi apabila perjanjiannya tidak ada (hubungan tidak langsung)
dan prestasinya tidak terukur maka tergugat dapat dikenakan tanggung jawab
produk dalam bentuk tanggung jawab produk atau product liability atas
kerugian yang diderita konsumen (paham mengenai strict liability).
Walaupun tidak dinyatakan secara tegas, baik dalam dokumen sejarah
penyusunannya maupun di dalam Undang-undangnya sendiri, namun Undang-undang No.
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menganut strict liability, dimana
terjadi pengalihan beban pembuktian kesalahan dari konsumen kepada pelaku
usaha/produsen.
Jadi, mengenai beban pembuktian terbalik, apabila
nanti kedepannya telah terjadi penggabungan antara BPKN atau BPSK dengan KPPU
mungkin akam mempermudah lembaga baru ini karena penyelidik dalam hal ini
Direktorat Penegakan Hukum misalnya tidak perlu lagi menyelidiki secara intens
karena menurut hukum, pelaku usahalah yang harus membuktikan dia tidak bersalah
(konsekuensi beban pembuktian terbalik paham strict liability yang
dianut UU No. 8/99).
IV.
Kesimpulan dan Saran
1.
Kesimpulan
Walaupun memilikimaksud dan jangkauan yang
berbedaantara Undang-Undang Persaingan dan Undang-undang Perlindungan Konsumen,
tetapi maksud kedua Undang-Undang ini sama, yaitu kesejahteraan masyarakat pada
umumnya. Pengaturan mengenai pelaku usaha menurut UU No.5/99 dan UU No.8/99
relatif sama, tetapi pengertian konsumen menurut UU No.5/99 berbeda dengan
konsumen menurut UU No.8/99, dimana konsumen menurut UU No.8/99 adalah konsumen
akhir, sementara konsumen menurut U No.5/99 termasuk juga konsumen antara.
2.
Saran
UU No.5/99 dan UU No.8/99 akan lebih baik jika
diundangkan menjadi satu Undang-undang karena akan lebih efektif dan menjangkau
lebih luas, karena selain pelaku usaha, konsumen adalah stakeholders yang
terbesar. Pengaturan mengenai hal diatas dapat dilihat atau diteliti lebih jauh
misalnya bila dibandingkan dengan lembaga serupa di Australia (ACCC), yang
telah merangkap mengenai competition dan consumer protection.
Daftar
Pustaka
Peraturan
Perundang-undangan
1. Undang-undang
Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan praktek Monopoli dan Persaingan usaha Tidak
Sehat.
2. Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
3. Peraturan
Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2005 tentang tata cara pengajuan keberatan atas
putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
4. Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2006 tentang tata cara pengajuan keberatan terhadap
putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Website
Buku
Arie Siswanto,
2002, Hukum Persaingan di Indonesia, Jakarta, Penerbit Ghalia Indonesia,
Franz Jurgen
Sacker, 2000, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak
Sehat, Jakarta : Lembaga Pengkajian Hukum Ekonomi FHUI,
Soekanto,
Soerjono, 2005, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Universitas
Indonesia,
Jurnal
dan Makalah
Hikmahanto
Juwana, 7 Maret 2000Membedah Struktur dan Materi Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, ,
Jakarta (Makalah Disampaikan Pada Seminar “Antisipasi Dunia Usaha Di
Indonesia
Terhadap UU AntiMonopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat Menghadapi Era
Millenium
III)
Hidayat, 1998,
“Manajemen Ekspatriat dan Globalisasi Ekonomi”, Jakarta, makalah Seminar
yang diadakan
oleh Lembangtek – Depnaker,
Johannes
Gunawan, 1998, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Menurut UUPK, Bandung, UNPAR,
Jurnal Hukum
Bisnis,
Johannes Gunawan,
2003, Kontroversi Strict Liability Dalah Hukum Perlindungan Konsumen,
Bandung, Oratio
Dies dies natalis ke 45 Fakultas Hukum UNPAR,
Kamus
Merriam
Webster, Dictionary
Analisa Terhadap UU Persaingan Usaha dan UU Perlindungan Konsumen di Indonesia (BAB III)
23.52 |
JURNAL PERSAINGAN USAHA
Jurnal komisi pengawasan persaingan
usaha (KPPU)
Analisa Terhadap
Undang-Undang Persaingan Usaha dan Undang-undang Perlindungan Konsumen di
Indonesia
Oleh : Yoza
Wirsan Armanda,edisi 1 tahun 2009
Kata
Kunci : Pelaku usaha,konsumen,Penyalahgunaan,Undang-undang
Selvi
Andeslin (28211853)
Kelas
2 EB 08
Tulisan
softskill, Mata Kuliah Aspek Hukum dalam Ekonomi, Jurusan Akuntansi,
Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma, 2011-2012.
Tanggal
: 5 Mei 2013
BAB III
Pembahasan
Atas UU No.5/99 Dan UU
No.8/99 Dengan Ilustrasi Kasus
Sebuah contoh di tahun 2004, pemilik Bandung
Supermal digugat seorang pemilik stand arloji. Penyebabnya, pemilik mal
secara sepihak menutup stand itu. Pemilik stand menggunakan UU
No.8/99 sebagai payung hukum. Dia mendudukkan dirinya selaku konsumen yang
harus dilindungi hak-haknya. Padahal merujuk pada UU No.8/99, status dia
sebagai konsumen sangat debatable.
Konsumen kenyataannya terpilah dua, konsumen akhir
dan konsumen antara. Bedanya ialah, konsumen akhir menggunakan barang atau jasa
tidak untuk diperdagangkan, sedangkan konsumen antara menggunakan barang atau
jasa untuk diperdagangkan. Yang dicakup UU No.8/99 adalah konsumen akhir.
Pemilik stand arloji tersebut jelas tak masuk kategori konsumen. Tapi
anehnya, pengadilan negeri Bandung justru memenangkan gugatannya. Hal ini
tentunya akan menjadi preseden yang buruk bagi perkembangan dunia usaha pada
umumnya. Mungkin kalau pemilik arloji mau melirik UU No.5/99, dia dapat
menggugat pelaku usaha atas tindakan diskriminatif.
Saran yang lebih efektif adalah apabila KPPU dan
BPKN atau BPSK misalnya dapat menyelesaiakan kasus ini secara bersamaan dan
mengeluarkan putusan yang sinergis (misalnya untuk perkara konsumen diproses
oleh Bagian Perlindungan Konsumen dan perkara persaingan diproses Bagian
Persaingan) mungkin akan menjadi contoh yang baik bagi masyarakat dan
perkembangan hukum persaingan dan perlindungan konsumen pada khususnya.
Product
Liability mempermudah penyelesaian kasus
Dasar untuk mengajukan gugatan dalam hal tanggung
jawab pelaku usaha ada dua yaitu apabila terjadi wanprestasi (breach of
contract) dan apabila digugat karena adanya perbuatan melawan hukum.
Apabila perjanjiannya ada (hubungan langsung) dan prestasinya terukur maka
pihak tergugat dapat dikenakan tanggung jawab kontraktual atas dasar
wanprestasi, tetapi apabila perjanjiannya tidak ada (hubungan tidak langsung)
dan prestasinya tidak terukur maka tergugat dapat dikenakan tanggung jawab
produk dalam bentuk tanggung jawab produk atau product liability atas
kerugian yang diderita konsumen (paham mengenai strict liability).
Walaupun tidak dinyatakan secara tegas, baik dalam dokumen sejarah
penyusunannya maupun di dalam Undang-undangnya sendiri, namun Undang-undang No.
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menganut strict liability, dimana
terjadi pengalihan beban pembuktian kesalahan dari konsumen kepada pelaku
usaha/produsen.
Jadi, mengenai beban pembuktian terbalik, apabila
nanti kedepannya telah terjadi penggabungan antara BPKN atau BPSK dengan KPPU
mungkin akam mempermudah lembaga baru ini karena penyelidik dalam hal ini
Direktorat Penegakan Hukum misalnya tidak perlu lagi menyelidiki secara intens
karena menurut hukum, pelaku usahalah yang harus membuktikan dia tidak bersalah
(konsekuensi beban pembuktian terbalik paham strict liability yang
dianut UU No. 8/99).
IV.
Kesimpulan dan Saran
1.
Kesimpulan
Walaupun
memilikimaksud dan jangkauan yang berbedaantara Undang-Undang Persaingan dan
Undang-undang Perlindungan Konsumen, tetapi maksud kedua Undang-Undang ini
sama, yaitu kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Pengaturan mengenai pelaku
usaha menurut UU No.5/99 dan UU No.8/99 relatif sama, tetapi pengertian
konsumen menurut UU No.5/99 berbeda dengan konsumen menurut UU No.8/99, dimana
konsumen menurut UU No.8/99 adalah konsumen akhir, sementara konsumen menurut U
No.5/99 termasuk juga konsumen antara.
2.
Saran
UU
No.5/99 dan UU No.8/99 akan lebih baik jika diundangkan menjadi satu
Undang-undang karena akan lebih efektif dan menjangkau lebih luas, karena
selain pelaku usaha, konsumen adalah stakeholders yang terbesar.
Pengaturan mengenai hal diatas dapat dilihat atau diteliti lebih jauh misalnya
bila dibandingkan dengan lembaga serupa di Australia (ACCC), yang telah
merangkap mengenai competition dan consumer protection.
Daftar
Pustaka
Peraturan
Perundang-undangan
1. Undang-undang
Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan praktek Monopoli dan Persaingan usaha Tidak
Sehat.
2. Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
3. Peraturan
Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2005 tentang tata cara pengajuan keberatan atas
putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
4. Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2006 tentang tata cara pengajuan keberatan terhadap
putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Website
Buku
Arie
Siswanto, 2002, Hukum Persaingan di Indonesia, Jakarta, Penerbit Ghalia
Indonesia,
Franz
Jurgen Sacker, 2000, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha
Tidak Sehat, Jakarta : Lembaga Pengkajian Hukum Ekonomi FHUI,
Soekanto,
Soerjono, 2005, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Universitas
Indonesia,
Jurnal
dan Makalah
Hikmahanto
Juwana, 7 Maret 2000Membedah Struktur dan Materi Undang-Undang Nomor 5
Tahun
1999, , Jakarta (Makalah Disampaikan Pada Seminar “Antisipasi Dunia Usaha Di
Indonesia
Terhadap UU AntiMonopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat Menghadapi Era
Millenium
III)
Hidayat,
1998, “Manajemen Ekspatriat dan Globalisasi Ekonomi”, Jakarta, makalah Seminar
yang
diadakan oleh Lembangtek – Depnaker,
Johannes
Gunawan, 1998, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Menurut UUPK, Bandung, UNPAR,
Jurnal
Hukum Bisnis,
Johannes
Gunawan, 2003, Kontroversi Strict Liability Dalah Hukum Perlindungan Konsumen,
Bandung,
Oratio Dies dies natalis ke 45 Fakultas Hukum UNPAR,
Kamus
Merriam
Webster, Dictionary
Praktek Monopoli dalam Pelayanan Taksi Bandara Hang Nadim (BAB II)
23.12 |
JURNAL PERSAINGAN USAHA
Jurnal komisi
pengawasan persaingan usaha (KPPU)
Praktek Monopoli
dalam Pelayanan Taksi Bandara di Seluruh Indonesia
Studi kasus :
Bandara Hang Nadim
Oleh : Berla Wahyu Pratama,edisi 1 tahun 2009
Kata
Kunci : Bandara, Jasa, Tarif, Taksi
Selvi
Andeslin (28211853)
Kelas
2 EB 08
Tulisan
softskill, Mata Kuliah Aspek Hukum dalam
Ekonomi, Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi,
Universitas Gunadarma, 2011-2012.
Tanggal
: 24 April 2013
BAB II
Tinjauan
Pustaka
1.
Pengertian
Taksi
Menurut pengertiannya Taksi adalah jenis angkutan umum yang
biasanya menggunakan mobil sedan untuk mengangkut penumpangnya. Tarif taksi
dihitung melalui dua cara, yaitu:
a.
Menggunakan argometer - dihitung secara
otomatis berdasarkan jarak yang ditempuh
b.
Berdasarkan kesepakatan - penumpang dan
pengemudi membuat kesepakatan tarif sebelum atau sesudah perjalanan.
Perbedaan utama
antara taksi dengan angkutan umum lainnya adalah terletak pada jumlah
penumpangnya. Taksi hanya dapat memuat 4 penumpang didalamnya, dan penumpang
tersebut biasanya berada dalam satu kelompok.
(www.wikipedia.org)
2.
Monopoli
Monopoli adalah suatu pasar dimana hanya
ada satu penjual dan perusahaan yang menentukan harga produknya sendiri (Price Maker). Gambar di bawah ini akan
menjelaskan bagaimana jika suatu perusahaan kompetitif berubah menjadi
perusahaan monopoli, dimana hanya ada satu perusahaan.
Sumber : Pyndick, Robert S, 1999, Jakarta.
Mikroekonomi.Fourth Edition. Prenhalindo
Keterangan :
Q = Penjualan
(monopoli),
Q1 = Penjualan pertama,
Q2 = Penjualan kedua,
P1 = Harga penjualan pertama,
P2 = Harga penjualan kedua.
Diketahui bahwa slope kurva permintaan miring ke
kanan bawah, setiap adanya peningkatan produksi akan menyebabkan penurunan
harga. Kesimpulannya adalah dengan peningkatan total output monopoli akan menurunkan harga pasar.
3.
Surplus
Konsumen
Surplus
konsumen merupakan aplikasi penting dalam ilmu ekonomi. Surplus konsumen
mengukur agregat manfaat yang diperoleh konsumen dengan membeli barang di
pasar.
Surplus konsumen merupakan perbedaan
antara berapa jumlah yang bersedia dibayar oleh konsumen untuk sebuah barang
dengan berapa jumlah yang sebenarnya dibayar konsumen apabila membeli suatu
barang. Dalam suatu kurva, apabila kurva permintaan buka garis lurus, surplus
konsumen diukur oleh daerah di bawah kurva permintaan dan di atas garis harga.
Sumber : Pyndick, Robert S., 1999, Jakarta.
Mikroekonomi.Fourth Edition. Prenhalindo
4.
Surplus
Produsen
Surplus produsen merupakan jumlah
keseluruhan unit yang diproduksi dari selisih antara harga pasar barang dengan
biaya produksi marjinal. Jika biaya marjinal meningkat, harga produk tersebut
lebih tinggi dari biaya marjinal setiap unit yang diproduksi. Surplus produsen
dapat dirumuskan sebagai selisih antara penerimaan perusahaan dengan variabel
total. Daerah QABQ’ dikurangi ADCQ’. Jadi bila
biaya tetap positif dalam jangka pendek, maka surplus produsen lebih besar dari laba atau keuntungan.
Keterangan
:
Laba
= P = R - VC - FC
Biaya produksi dapat mempengaruhi
surplus produsen dari suatu perusahaan. Perusahaan dengan biaya yang lebih
tinggi, surplus produsennya lebih sedikit, sedangkan dengan biaya yang lebih
rendah, surplus produsennya akan lebih banyak.
Analisa Terhadap UU Persaingan Usaha dan UU Perlindungan Konsumen di Indonesia (BAB II)
22.49 |
JURNAL PERSAINGAN USAHA
Jurnal komisi pengawasan persaingan
usaha (KPPU)
Analisa Terhadap
Undang-Undang Persaingan Usaha dan Undang-undang Perlindungan Konsumen di
Indonesia
Oleh :
Yoza Wirsan Armanda,edisi 1 tahun 2009
Kata
Kunci : Pelaku usaha,konsumen,Penyalahgunaan,Undang-undang
Selvi
Andeslin (28211853)
Kelas
2 EB 08
Tulisan
softskill, Mata Kuliah Aspek Hukum dalam Ekonomi, Jurusan Akuntansi,
Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma, 2011-2012.
Tanggal
: 5 Mei 2013
BAB
II
Tinjauan
Atas Hukum Persaingan Dan Hukum Perlindungan Konsumen
Adanya globalisasi dalam hal ekonomi telah
mengakibatkan terjadinya perdagangan bebas atas produk berupa barang dan
jasa. Produk tersebut merupakan hasil kegiatan dari pelaku usaha, sedangkan
para pengguna atau pemanfaat barang dan jasa adalah konsumen, yang harus
dilindungi keamanannya. Maka dari itu diperlukan hukum yang mengatur persaingan
dalam mekanisme pasar tersebut yang menjamin di antara produsen dan konsumen
Adanya persaingan yang terjadi dikalangan pelaku
usaha saat ini kadang merugikan bagi para konsumen.Persaingan disini di
definisikan sebagai adanya dua pihak
atau lebih yang terlibat dalam upaya mengungguli masing-masing kekuatannya dan
adanya kehendak diantara mereka untuk mencapai tujuan yang sama
Untuk itu perangkat
hukum persaingan sangat penting,pada prinsipnya dimaksudkan untuk menciptakan
suatu sistem persaingan yang sehat dan efektif. Adanya pengaturan pengaturan
merupakan suatu syarat mutlak bagi suatu negara yang ingin maju menuju sistem
ekonomi dan politik yang modern, sebab persaingan merupakan suatu elemen yang
essensial dalam system perekonomian modern.
Dalam teori ilmu ekonomi, persaingan sempurna adalah
suatu kondisi pasar yang ideal. paling tidak ada empat asumsi yang melandasi
agar terjadi persaingan yang sempurna pada suatu pasat tertentu.
1. Pelaku
usaha tidak dapat menentukan secara sepihak harga atas produk atau jasa, adapun
yang menentukan harga adalah pasar berdasarkan permintaan dan penawaran
2. Barang
atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha sama.
3. Pelaku
usaha memiliki kebebasan untuk masuk ataupun keluar dari pasar.
4. Konsumen
dan pelau usaha memiliki informasi yang sempurna tentang berbagai hal, misalnya
tingkat pendapatan, biaya dan teknologi yang digunakan unutk menghasilkan
barang dan atau jasa.
A. Sejarah
singkat UU No.5/99 dan UU No.8/99
Dalam mengatisipasi perkembangan Industri maka telah
diterbitkan Undang-undang Nomor 8 tahun 199
Terbentuknya Undang–undang anti monopoli dimulai
dari periode Tahun 1995, dimana merupakan awal terjadinya perubahan dalam
sistem hubungan ekonomi dan perdagangan internasional. Perubahan dimaksud
terjadi setelah dibentuknya WTO (World Trade Organization) pada bulan
Januari 1995 untuk menggantikan GATT (General Assembly on Tariff and Trade),
sebagai tindak lanjut dari Putaran Uruguay (Uruguay round) yaitu
kesepakatan multilateral yang ditandatangani oleh sebanyak 120 negara (termasuk
Indonesia) pada bulan April 1994 di Marakesh. Dengan berdirinya WTO, dapat
dikatakan telah membuka lebar pintu perdagangan internasional secara bebas dan
terbuka.
Selama ini kebijaksanaan ekonomi dan perdagangan
yang diterapkan di Indonesia cenderung bersifat “inward looking” serta
memberikan perlindungan kepada pelaku usaha secara tidak adil. Hal ini harus
diubah menjadi “outward looking” bahkan segala peraturan yang berlaku di
bidang ekonomi dan perdagangan harus diubah untuk disesuaikan dengan
prinsip-prinsip yang berlaku dalam WTO, serta membuat peraturan perundangan
baru yang selama ini belum ada guna memenuhi tuntutan yang dipersyaratkan oleh
WTO.
Salah satu peraturan perundangan yang dibuat untuk
menyesuaikan dengan prinsip yang berlaku dalam hubungan ekonomi dan perdagangan
internasional adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Selain mengatur tentang perjanjian
bisnis yang membatasi kebebasan pelaku usaha dalam menjalankan usahanya sehingga menghambat
persaingan dalam pasar (restraint of trade) yang oleh karenanya
dilarang, mengatur pula tentang berbagai kegiatan atau perbuatan pelaku usaha
sendiri yang bukan termasuk perjanjian namun akibatnya merusak struktur pasar.
B. Komisi
Pengawas Persaingan Usaha
Untuk mengawasi persaingan yang dilakukan para
pelaku usaha, Pasal 30 UU No.5/99 mengatur adanya komisi yang secara independen
bertugas mengawasi pelaksanaan UU No. 5/99. Komisi dimaksud adalah Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Berdasarkan Pasal 35 UU No.5/99, tugas KPPU
adalah :
1. Melakukan
penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana di atur dalam Pasal
4 sampai dengan Pasal 16;
2. Melakukan
penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat
mengakibatkan terjadinya monopoli dan atau persaingan usaha tidak se- hat yang
diatur Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 ;
3. Melakukan
penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;
4. Mengambil
tindakan sesuai dengan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 36;
5. Memberikan
saran dan pertimbangan terhadap Komisi Kebijakan Pemerintah yang berkaitan
dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
6. Menyusun
pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini;
7. Memberikan
laporan secara berkala atas hasil usaha kerja Komisi kepada Presiden dan DPR.
Adapun
kewenangan KPPU adalah (Pasal 36 UU No. 5/99) :
·
Menerima laporan dari masyarakat dan
atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat
·
Melakukan penelitian tentang dugaan
adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
·
Melakukan penyelidikan dan atau
pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang
ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dai penelitiannya
·
Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau
pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat
·
Memanggil pelaku usaha yang diduga telah
melakukan pelanggaran terhadap UU No.5/99
·
Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi
ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan
UU No. 5/99
·
Meminta bantuan penyidik untuk
menghadirkan pelaku usaha, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud
angka 5 dan angka 6 yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi
·
Meminta keterangan dari instansi
Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap
pelaku usaha yang melanggar UU No. 5/99
·
Mendapatkan, meneliti dan atau menilai
surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan
·
Memutuskan dan atau menetapkan ada atau
tidak adanya kerugian pihak pelaku usaha lain atau masyarakat
·
Memberitahukan putusan Komisi kepada
pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat
·
Menjatuhkan sanksi berupa sanksi
administrasi kepada pelaku usaha yang melanggar UU No. 5/99, berupa:
1. Penetapan
pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal
13, Pasal 15 dan Pasal 16; dan atau
2. Perintah
kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertida sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14; dan atau
3. Perintah
kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan
masyarakat; dan atau
4. Perintah
kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan atau
5. Penetapan
pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan
saham sebagaimana dimaksud Pasal 28; dan atau
6. Pembayaran
ganti rugi; dan atau
7. Pengenaan
denda serendah-rendahnya satu milyar rupiah dan setinggi-tingginya dua puluh
lima milyar rupiah.
Dari
uraian tentang tugas dan kewenangan KPPU tersebut di atas, dapat dikatakan
bahwa pada prinsipnya tugas dan wewenang KPPU merupakan satu kegiatan yang
terintegrasi yang baik secara langsung maupun tidak langsung terkait pula
dengan tata cara penanganan perkara.
C. Pelaku
Usaha dan Konsumen
Pengertian
pelaku usaha dalam UU No.5/99 dan UU No. 8/99 sama, tetapi ada yang berbeda
dalam pengertian konsumen dalam UU No.8/99 dan UU No.5/99. Dalam UU No.8/99
terdapat unsur adanya kepentingan makhluk hidup lain sementara dalam UU No.5/99
tidak. Maksudnya makhluk hidup lain disini adalah misalnya seseorang yang
membeli produk makanan untuk hewan peliharaannya. Kemudian unsur tidak untuk
diperdagangkan dalam UU No.8/99 yang berarti adalah konsumen tersebut adalah konsumen
akhir, bukan konsumen antara/distributor, sementara UU No.5/99 tidak
menyebutkan pengertian konsumen adalah konsumen akhir, mungkin untuk
mengantisipasi sempitnya pengertian konsumen yang diatur dalam UU No.8/99.
Keberadaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia adalah untuk
mengatur perilaku pelaku usaha dengan tujuan agar konsumen terlindungi secara
hukum. Secara teoritis, Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengandung materi
yang berstruktur sebagai berikut:
1) Pertanggung
jawaban berdasarkan kontrak (Contractual liability)
Dalam
hal terdapat hubungan perjanjian (privity of contract) antara pelaku
usaha dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada
pertanggungjawaban kontraktual, yaitu tanggungjawab perdata atas dasar perjanjian
dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami oleh konsumen akibat memanfaatkan
barang dan atau jasa. Selain itu, berlaku Undang-Undang Perlindungan Konsumen
tentang klausula baku yang diatur dalam Pasal 18 UUPK.
2) Pertanggung
jawaban berdasarkan Produk (Product Liability)
Dalam
hal tidak terdapat hubungan perjanjian (no privity of contract) antara
pelaku usaha dengan konsumen, maka tanggung jawab dari pelaku usaha didasarkan
pada product liability yaitu tanggung jawab perdata secara langsung (strict
liability) dari pelaku usaha (produsen barang) atas kerugian yang dialami
konsumen akibat memakai barang yang dihasilkannya.
3) Pertanggung
jawaban berdasarkan Profesi (Professional Liability)
Adalah
tanggung jawab perdata yang dapat didasarkan pada tanggung jawab perdata secara
langsung (strict Liability). Sebagaimana terdapat di dalam Pasal 19
juncto Pasal 28 UUPK, yang mengatur bahwa pelaku usaha atau pemberi jasa
bertanggung jawab secara langsung untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat memanfaatkan jasa yang dihasilkan.
Dalam
persaingan usaha, banyak hal yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha, untuk
memenangkan pilihan konsumen terhadap barang dan atau jasa yang dihasilkannya.
Pembatas dari konsumen untuk memperoleh barang dan atau jasa yang
diinginkannya, adalah kemampuan finansialnya. Hal ini dapat dijelaskan oleh
Teori Perilaku Konsumen, yang berbunyi :
“konsumen memilih barang-barang yang sesuai
dengan anggaran mereka.”
Sedangkan
teori yang dapat menjelaskan perilaku dari produsen dalam menghasilkan
produknya adalah:
“ pelaku usaha memproduksi
barang-barang untuk menghasilkan keuntungan maksimun yang didapatkan dari
teknologi dan pembatasan- pembatasan lainnya.”
Untuk
dapat mengetahui penjelasan yang lebih akurat mengenai mekanisme yang terjadi
dalam persaingan dimaksud, perlu diketahui siapa saja yang terlibat didalamnya.
Dalam persaingan usaha, paling tidak melibatkan empat pelaku utama (stake
holders), yaitu konsumen, pengusaha, pemerintah dan masyarakat. Dan keempat
pelaku utama itu adalah :
1. Konsumen,
sebagai pengguna jasa/barang yang ditawarkan;
2. Pengusaha,
adalah pihak yang menyediakan jasa/barang;
3. Pemerintah,
sebagai fasilisator dan regulator; dan
4. Masyarakat,
sebagai pressure group.
D. Metode
Penulisan
Dari teori teori dan pendekatan inilah penulis
bermaksud membuat suatu penulisan dengan melihat kasus nyata yang telah terjadi
di Indonesia dan bagaimana penerapannya dengan hukum persaingan dan
perlindungan konsumen. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normative.
Metode yang digunakan adalah dengan cara penelitian kepustakaan (library
research) yaitu meneliti bahan pustaka atau data sekunder saja yang berupa:
1. bahan
hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
antara lain yang akan sering dibahas dalam penulisan kali ini adalah
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen;
2. bahan
hukum sekunder, yaitu Jurnal ilmiah, buku-buku, karya ilmiah lain yang
berkaitan dengan obyek penelitian .
3. bahan
hukum tersier, yaitu Kamus, ensiklopedia yang berkaitan dengan pokok
permasalahan
Langganan:
Postingan (Atom)